"Aku Sayang Papi" kalimat yang sebelumnya tidak pernah aku ucapkan kepada beliau. Mungkin cobaan ini adalah cara Allah menegurku, agar aku lebih dekat dengan Allah... agar aku bisa lebih dekat dengan Papi... agar aku bisa menjadi anak yang lebih berbakti pada orangtua. Dibalik semua ujian ini, banyak hikmah yg aku dapatkan. Semua membuatku berusaha menjadi pribadi yg lebih baik.
Berada di ambulan menuju Surabaya, bun kreatin Papi yang tinggi membuat kesadaran beliau menurun. Menurunnya fungsi ginjal Papi membuat beliau keracunan. Sepanjang perjalanan beliau gelisah. Nafasnya sesak, beberapa kali beliau berusaha melepas infus yang terpasang ditangannya, beliau terlihat sangat kesakitan. Sepanjang perjalanan aku dibantu seorang perawat memegangi tangan beliau, berusaha menenangkan beliau agar tidak gelisah. Air mataku mengalir, dadaku terasa sesak melihat keadaan Papi. Jam 11 malam kami sampai di rumah sakit Husada Utama Surabaya. Papi langsung masuk ICU. Beliau mengalami pendarahan. Malam yang berat, aku hanya boleh menunggu diluar ICU. jantungku berdegup kencang setiap kali perawat ICU keluar untuk memanggil keluarga pasien.
Rasa cemas menghampiriku, sepanjang malam aku terjaga. Penantianku terjawab ketika seorang perawat memanggilku. Di dalam ICU aku melihat tangan dan kaki Papi diikat. Perawat bilang terpaksa melakukan tindakan itu agar Papi tidak berontak dan mencabut lagi kateter atau infus yang terpasang di tangannya. Sementara itu, perawat mengantarku untuk menemui dokter ahli ginjal, anestesi dan saraf. Aku menghadapi ketiganya seorang diri di dalam ICU. "Bapak harus cuci darah mbak, gagal ginjal stadium 5 dan dugaan stroke. Tidak bisa ditunda lagi. Kami akan memasang ventilator untuk alat bantu nafas Bapak, sementara itu Bapak sengaja ditidurkan agar lebih tenang. Jika keluarga setuju, silahkan mbak tanda tangani surat persetujuan ini dan tindakan akan segera kami lakukan. Keterangan dari para dokter itu membuatku lemas, aku terjatuh dan menangis. Ya Allah... separah itukah kondisi Papi?! dadaku sesak, aku harus cepat memutuskan. Dengan suara terisak aku bertanya pada dokter, segala resiko dari semua tindakan yang akan mereka lakukan terhadap Papi. Harapan keberhasilan dan kegagalan sama, dokter juga tidak bisa memastikan apakah tindakan mereka bisa menyelamatkan nyawa Papi. Semua tindakan itu adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan.
"Papi ga'mau cuci darah dek" kalimat itu yang Papi katakan sebelum kesadaran beliau menurun. Dan sekarang aku harus menandatangani surat persetujuan tindakan hemodialisa. Bismillah... Sambil menangis aku tanda tangani surat persetujuan hemodialisa, pemasangan ventilator dan tindakan pembiusan oleh dokter anestesi. Perawat mengantarku keluar ICU. Aku hanya bisa menangis sambil terus berdoa, semoga Papi kuat... semoga Allah masih memberi Papi kesempatan untuk bisa bersama-sama kami lagi.
16.30, jam besuk keluarga pasien ICU. Perawat memperbolehkan aku masuk dan melihat Papi. Beliau terlihat lebih tenang sekarang, lebih tepatnya beliau tidak sadar. Hanya alat-alat medis yang terpasang ditubuhnya yang menunjukkan bahwa beliau masih bernyawa. Aku terus membisikkan doa-doa di telinga beliau. Perawat HD tersenyum manis padaku, "Nggak apa-apa mbak, bapak hanya tidur aja". Untuk pertama kalinya aku melihat proses cuci darah. Dua selang yang terpasang di bahu kiri Papi adalah alat yang digunakan untuk cuci darah. Darah Papi dikeluarkan lewat selang itu, kemudian dimasukkan ke dalam mesin ginjal buatan. Setelah tercuci bersih, darah itu kembali dimasukkan ke dalam tubuh Papi. Proses cuci darah itu berlangsung 5 jam. Mesin itu menggantikan fungsi ginjal Papi untuk menyaring dan membuang racun dalam darah. Selama proses cuci darah tekanan darah Papi tidak boleh drop di bawah 100.
Dua hari kemudian beliau menjalani cuci darah lagi, kali ini beliau sudah lebih sadar. Dokter anestesi mulai mengurangi dosis obat penenang Papi. Menurunnya bun kreatin dalam darah Papi setelah proses cuci darah membuat kesadaran beliau kembali stabil. Beliau sudah bisa membuka mata, menatapku. Meski belum bisa bicara karena ventilator yang terpasang di mulut Papi, setidaknya beliau sudah bisa mengangguk, menggeleng dan menggenggam erat tanganku. Papi meneteskan air mata. Aku terus memberi Papi semangat, Papi pasti sembuh.
Hari demi hari aku lalui di rumah sakit. Meski hanya bisa bertemu Papi saat jam besuk dan saat perawat atau dokter membutuhkan tanda tangan persetujuan tindakan, setidaknya aku dapat sedikit bernafas lega melihat kondisi Papi berangsur membaik. "Semua mukzizat dari Allah mbak, kondisi Bapak berangsur membaik, kami akan mulai melatih Bapak tanpa alat", alhamdulilah... pernyataan tim dokter membuatku tak henti berucap syukur. Satu persatu selang-selang yang terpasang di tubuh papi mulai di lepas. Papi mulai belajar makan, minum dan bicara. Pemasangan ventilator membuat Papi tidak bisa bersuara keras.
Hari ke- sembilan akhirnya Papi diperbolehkan keluar ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Sekarang aku bisa menemani Papi dan berada di sisi beliau 24 jam penuh. Menemani Papi menjalani HD reguler seminggu tiga kali. Dukungan dan doa dari keluarga besar, sahabat dan orang terkasih membuatku kuat menjalani semua ujian ini. Tak henti aku terus berdoa semoga Papi kuat, semoga kesehatan beliau semakin membaik, semoga Allah mengangkat penyakit Papi. Doa ini tak akan pernah putus aku panjatkan untuk Papi. Semoga Allah memberikan mukzizat-Nya untuk Papi.
Hari ke-dua puluh aku mulai melatih Papi duduk di kursi, berdiri, berjalan, menulis dan serangakaian tes untuk melihat kondisi fisik dan mental beliau. Subhanallah pelan-pelan Papi bisa melakukan semua itu dan beliau mengingat semua hal dengan baik. Melihat kondisi Papi seperti itu, dokter saraf menyatakan bahwa Papi tidak stroke. Untuk kesekian kalinya Allah menunjukkan mukzizat-Nya. Dokter bisa berkata apapun tapi Allah maha segalanya.
Hari ke-tiga puluh, melihat kondisi Papi semakin membaik dokter mengijinkan Papi untuk pulang dan meneruskan rawat jalan di Banyuwangi. Papi tetap harus menjalani HD reguler seminggu dua kali. Aku tetap percaya, Allah pasti menyembuhkan dan mengangkat penyakit Papi karna Allah tidak akan memberi cobaan kepada hamba-Nya melebihi kemampuan hamba-Nya.
I Love You Papi
-Banyuwangi, 24 Mei 2013-
Berada di ambulan menuju Surabaya, bun kreatin Papi yang tinggi membuat kesadaran beliau menurun. Menurunnya fungsi ginjal Papi membuat beliau keracunan. Sepanjang perjalanan beliau gelisah. Nafasnya sesak, beberapa kali beliau berusaha melepas infus yang terpasang ditangannya, beliau terlihat sangat kesakitan. Sepanjang perjalanan aku dibantu seorang perawat memegangi tangan beliau, berusaha menenangkan beliau agar tidak gelisah. Air mataku mengalir, dadaku terasa sesak melihat keadaan Papi. Jam 11 malam kami sampai di rumah sakit Husada Utama Surabaya. Papi langsung masuk ICU. Beliau mengalami pendarahan. Malam yang berat, aku hanya boleh menunggu diluar ICU. jantungku berdegup kencang setiap kali perawat ICU keluar untuk memanggil keluarga pasien.
Rasa cemas menghampiriku, sepanjang malam aku terjaga. Penantianku terjawab ketika seorang perawat memanggilku. Di dalam ICU aku melihat tangan dan kaki Papi diikat. Perawat bilang terpaksa melakukan tindakan itu agar Papi tidak berontak dan mencabut lagi kateter atau infus yang terpasang di tangannya. Sementara itu, perawat mengantarku untuk menemui dokter ahli ginjal, anestesi dan saraf. Aku menghadapi ketiganya seorang diri di dalam ICU. "Bapak harus cuci darah mbak, gagal ginjal stadium 5 dan dugaan stroke. Tidak bisa ditunda lagi. Kami akan memasang ventilator untuk alat bantu nafas Bapak, sementara itu Bapak sengaja ditidurkan agar lebih tenang. Jika keluarga setuju, silahkan mbak tanda tangani surat persetujuan ini dan tindakan akan segera kami lakukan. Keterangan dari para dokter itu membuatku lemas, aku terjatuh dan menangis. Ya Allah... separah itukah kondisi Papi?! dadaku sesak, aku harus cepat memutuskan. Dengan suara terisak aku bertanya pada dokter, segala resiko dari semua tindakan yang akan mereka lakukan terhadap Papi. Harapan keberhasilan dan kegagalan sama, dokter juga tidak bisa memastikan apakah tindakan mereka bisa menyelamatkan nyawa Papi. Semua tindakan itu adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan.
"Papi ga'mau cuci darah dek" kalimat itu yang Papi katakan sebelum kesadaran beliau menurun. Dan sekarang aku harus menandatangani surat persetujuan tindakan hemodialisa. Bismillah... Sambil menangis aku tanda tangani surat persetujuan hemodialisa, pemasangan ventilator dan tindakan pembiusan oleh dokter anestesi. Perawat mengantarku keluar ICU. Aku hanya bisa menangis sambil terus berdoa, semoga Papi kuat... semoga Allah masih memberi Papi kesempatan untuk bisa bersama-sama kami lagi.
16.30, jam besuk keluarga pasien ICU. Perawat memperbolehkan aku masuk dan melihat Papi. Beliau terlihat lebih tenang sekarang, lebih tepatnya beliau tidak sadar. Hanya alat-alat medis yang terpasang ditubuhnya yang menunjukkan bahwa beliau masih bernyawa. Aku terus membisikkan doa-doa di telinga beliau. Perawat HD tersenyum manis padaku, "Nggak apa-apa mbak, bapak hanya tidur aja". Untuk pertama kalinya aku melihat proses cuci darah. Dua selang yang terpasang di bahu kiri Papi adalah alat yang digunakan untuk cuci darah. Darah Papi dikeluarkan lewat selang itu, kemudian dimasukkan ke dalam mesin ginjal buatan. Setelah tercuci bersih, darah itu kembali dimasukkan ke dalam tubuh Papi. Proses cuci darah itu berlangsung 5 jam. Mesin itu menggantikan fungsi ginjal Papi untuk menyaring dan membuang racun dalam darah. Selama proses cuci darah tekanan darah Papi tidak boleh drop di bawah 100.
Dua hari kemudian beliau menjalani cuci darah lagi, kali ini beliau sudah lebih sadar. Dokter anestesi mulai mengurangi dosis obat penenang Papi. Menurunnya bun kreatin dalam darah Papi setelah proses cuci darah membuat kesadaran beliau kembali stabil. Beliau sudah bisa membuka mata, menatapku. Meski belum bisa bicara karena ventilator yang terpasang di mulut Papi, setidaknya beliau sudah bisa mengangguk, menggeleng dan menggenggam erat tanganku. Papi meneteskan air mata. Aku terus memberi Papi semangat, Papi pasti sembuh.
Hari demi hari aku lalui di rumah sakit. Meski hanya bisa bertemu Papi saat jam besuk dan saat perawat atau dokter membutuhkan tanda tangan persetujuan tindakan, setidaknya aku dapat sedikit bernafas lega melihat kondisi Papi berangsur membaik. "Semua mukzizat dari Allah mbak, kondisi Bapak berangsur membaik, kami akan mulai melatih Bapak tanpa alat", alhamdulilah... pernyataan tim dokter membuatku tak henti berucap syukur. Satu persatu selang-selang yang terpasang di tubuh papi mulai di lepas. Papi mulai belajar makan, minum dan bicara. Pemasangan ventilator membuat Papi tidak bisa bersuara keras.
Hari ke- sembilan akhirnya Papi diperbolehkan keluar ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Sekarang aku bisa menemani Papi dan berada di sisi beliau 24 jam penuh. Menemani Papi menjalani HD reguler seminggu tiga kali. Dukungan dan doa dari keluarga besar, sahabat dan orang terkasih membuatku kuat menjalani semua ujian ini. Tak henti aku terus berdoa semoga Papi kuat, semoga kesehatan beliau semakin membaik, semoga Allah mengangkat penyakit Papi. Doa ini tak akan pernah putus aku panjatkan untuk Papi. Semoga Allah memberikan mukzizat-Nya untuk Papi.
Hari ke-dua puluh aku mulai melatih Papi duduk di kursi, berdiri, berjalan, menulis dan serangakaian tes untuk melihat kondisi fisik dan mental beliau. Subhanallah pelan-pelan Papi bisa melakukan semua itu dan beliau mengingat semua hal dengan baik. Melihat kondisi Papi seperti itu, dokter saraf menyatakan bahwa Papi tidak stroke. Untuk kesekian kalinya Allah menunjukkan mukzizat-Nya. Dokter bisa berkata apapun tapi Allah maha segalanya.
Hari ke-tiga puluh, melihat kondisi Papi semakin membaik dokter mengijinkan Papi untuk pulang dan meneruskan rawat jalan di Banyuwangi. Papi tetap harus menjalani HD reguler seminggu dua kali. Aku tetap percaya, Allah pasti menyembuhkan dan mengangkat penyakit Papi karna Allah tidak akan memberi cobaan kepada hamba-Nya melebihi kemampuan hamba-Nya.
I Love You Papi
-Banyuwangi, 24 Mei 2013-
Komentar
Posting Komentar