Pagi yang cerah di bulan Maret...
Ponselku terus saja berbunyi, ucapan selamat dari sahabat dan kerabat dekat membuat senyumku mengembang. Doa-doa terpanjatkan untuk kebahagiaan dan kesuksesanku, tak henti aku mengamini doa-doa indah itu. Satu persatu aku baca pesan singkat di ponselku, keluarga, sahabat, rekan kerja, mantan dan... Aku menghela nafas panjang, raut kecewa tergambar jelas di wajahku. "Jadi, dia nggak ngucapin? dia nggak ingat hari ini spesial buat kamu?". Aku tersenyum masam ketika sahabatku bertanya tentang dia. "Mungkin dia sibuk, nggak penting juga ucapan dari dia". Aku berpaling, pura-pura tidak peduli.
Aku lupakan sejenak semua tentangnya, berada di tengah-tengah sahabat adalah hal terbaik yang sangat aku syukuri. Mereka selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa. Lilin di atas kue ulang tahunku membuatku sadar sudah waktunya untuk lebih serius menata hidup. Mungkin juga mengambil keputusan untuk mengakhiri masa lajang. Pernikahan menjadi sangat menakutkan. Menjalin hubungan serius dengan seorang pria bukanlah prioritas utama dalam hidupku meski ingin tapi aku takut terluka lagi. Cinta, kenangan dan hal-hal yang tak selesai membuatku enggan berurusan dengan perasaan sensitif dengan seorang pria. Beberapa kali aku coba dan berakhir begitu saja karna memang tak pernah ada cinta. Hingga suatu hari aku mengenalnya. Dia mengusik pikiranku, aku terus saja memikirkan dia. Dia seolah menjelma jadi hujan dalam harap yang selalu pudar dalam hidupku, bukan sekedar penyejuk,dia penawar luka masa lalu.
Rasa lelah dan bahagia bercampur jadi satu, aku rebahkan tubuhku di ranjang. Hampir saja aku terbuai dalam dekapan mimpi ketika aku dengar ponselku berbunyi. "Selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur, sehat, sukses dan nggak suka marah he he he". Rasa lelah seketika sirna. Pesan singkat darinya membuat hari ini sempurna. Belum selesai aku tulis balasan ucapan terimkasih untuknya, dia sudah keburu menelfonku. Kami berbincang, dia mengenalku dengan baik. "Pasti udah mikir aku lupa kan?he he he aku sengaja ngucapin paling akhir biar kamu marah dan cemberut duluan, makanya cepet balik ke Malang nanti kita nonton dan makan malam berdua". Dia selalu saja menggodaku, saat kerja di kantor atau di luar kantor tetap saja suka iseng. Kami memang sering menghabiskan waktu berdua, saat kerja kami bisa jadi tim yang solid, diluar jam kerja dan saat weekend kami bisa jadi traveller yang sangat menikmati hidup.
Dia seorang pekerja keras dan sangat bertanggung jawab. Kecerdasannya membuatku kagum. Menyelesaikan banyak hal dalam waktu bersamaan sudah biasa dia lakukan dan hasilnya selalu memuaskan. Dia seorang sahabat, kakak, mentor, rekan kerja dan kekasih?! terlalu dini untuk menyebutnya sebagai seorang kekasih. "Kamajaya pasti singgah, biarkan saja semua mengalir sempurna" dia katakan itu ketika seorang teman menanyakan status hubungan kami. Aku tidak pernah ambil pusing tentang status hubungan kami berdua karna yang terpenting dari sebuah hubungan adalah rasa nyaman. Kami berdua bisa menghabiskan waktu seharian untuk ngobrol, berdiskusi atau sekedar menikmati koleksi toko buku di mall. Seminggu sekali hampir pasti kami selalu menyempatkan waktu untuk nonton atau sekedar karaoke berdua.
"Aku ingin hubungan yang serius, aku ingin komitmen masa depan sama kamu". Aku terdiam sejenak mendengar pernyataannya. "Harus aku jawab sekarang?Atau kamu berbaik hati memberiku waktu untuk berpikir?". Ada yang bergejolak dalam hatiku ketika mendengar pernyataannya. Meminta waktu sebenarnya hanya sebuah alasan untuk meyakinkan diriku sendiri. Sejak hubungan ini dimulai, hanya rasa nyaman yang aku rasakan, selebihnya aku tak pernah memikirkannya.
Seminggu berlalu sejak aku meminta waktu untuk berpikir sejenak tentang akhir dari rasa nyaman kebersamaan kami atau mungkin awal dari masa depan kami berdua. "Bukankah diawal pertemuan kalian berdua, kamu bilang dia membuat hatimu kembali bergetar ketika dekat dengan seorang pria, kenapa sekarang kamu takut melangkah?", diujung telfon sahabat terbaikku mencoba meyakinkan aku bahwa tak ada salahnya mencoba hubungan baru. Orang-orang terdekatku sangat mendukung hubungan kami berdua.
Dia mengajakku makan malam, aku tau dia pasti meminta jawaban dan kepastian hubungan kami.
"Bhatara Kamajaya telah singgah dalam hatiku, dan aku ingin menjadikanmu Bathari Kamaratihku".
Aku tersenyum mendengar pernyataannya. Semua mengingatkanku pada matakuliah Indonesia Kuno yang pernah aku pelajari sewaktu kuliah dulu. Dalam karya sastra lama Smaradahana karya Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan Kediri, Batara Kamajaya adalah Dewa Cinta. Salah satu diantara banyak dewa dalam agama Hindu maupun dalam cerita wayang purwa. Ia terkenal tampan, berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan sangat sayang kepada istrinya yang bernama Dewi Kamaratih. Dewi Kamaratih tidak kalah terkenal karena cantiknya dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan suami istri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.
Malam itu, aku putuskan untuk menjadikannya Bhatara Kamajaya dalam hidupku. Mencoba merajut kisah kasih seindah kisah sang bhatara dengannya. "Saat ini, aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku utuh, tapi dengan berjalannya waktu, aku berharap kamu bisa menjadi Bhatari Kamaratihku seutuhnya". Dia mengerti benar hatiku belum bisa utuh mencintainya, tapi ketulusan hatinya membuatku sangat menghargai semua usaha yang telah dia lakukan untuk dapat membahagiakanku.
Sejak malam itu, aku belajar mencintainya. Dia mulai mengenalkanku pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Keluarganya sangat baik dan mencintaiku. Mereka menerimaku dengan penuh cinta. Dia juga mencintai keluargaku, perhatian tulusnya menyentuh hati keluargaku. Bersamanya membuatku menyadari betapa Tuhan maha baik, mempertemukanku dengan dia yang mencintaiku dengan tulus dan membuat hatiku kembali bergetar dan siap menerima cinta lagi...
Untukmu Bhatara Kamajaya...
Ponselku terus saja berbunyi, ucapan selamat dari sahabat dan kerabat dekat membuat senyumku mengembang. Doa-doa terpanjatkan untuk kebahagiaan dan kesuksesanku, tak henti aku mengamini doa-doa indah itu. Satu persatu aku baca pesan singkat di ponselku, keluarga, sahabat, rekan kerja, mantan dan... Aku menghela nafas panjang, raut kecewa tergambar jelas di wajahku. "Jadi, dia nggak ngucapin? dia nggak ingat hari ini spesial buat kamu?". Aku tersenyum masam ketika sahabatku bertanya tentang dia. "Mungkin dia sibuk, nggak penting juga ucapan dari dia". Aku berpaling, pura-pura tidak peduli.
Aku lupakan sejenak semua tentangnya, berada di tengah-tengah sahabat adalah hal terbaik yang sangat aku syukuri. Mereka selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa. Lilin di atas kue ulang tahunku membuatku sadar sudah waktunya untuk lebih serius menata hidup. Mungkin juga mengambil keputusan untuk mengakhiri masa lajang. Pernikahan menjadi sangat menakutkan. Menjalin hubungan serius dengan seorang pria bukanlah prioritas utama dalam hidupku meski ingin tapi aku takut terluka lagi. Cinta, kenangan dan hal-hal yang tak selesai membuatku enggan berurusan dengan perasaan sensitif dengan seorang pria. Beberapa kali aku coba dan berakhir begitu saja karna memang tak pernah ada cinta. Hingga suatu hari aku mengenalnya. Dia mengusik pikiranku, aku terus saja memikirkan dia. Dia seolah menjelma jadi hujan dalam harap yang selalu pudar dalam hidupku, bukan sekedar penyejuk,dia penawar luka masa lalu.
Rasa lelah dan bahagia bercampur jadi satu, aku rebahkan tubuhku di ranjang. Hampir saja aku terbuai dalam dekapan mimpi ketika aku dengar ponselku berbunyi. "Selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur, sehat, sukses dan nggak suka marah he he he". Rasa lelah seketika sirna. Pesan singkat darinya membuat hari ini sempurna. Belum selesai aku tulis balasan ucapan terimkasih untuknya, dia sudah keburu menelfonku. Kami berbincang, dia mengenalku dengan baik. "Pasti udah mikir aku lupa kan?he he he aku sengaja ngucapin paling akhir biar kamu marah dan cemberut duluan, makanya cepet balik ke Malang nanti kita nonton dan makan malam berdua". Dia selalu saja menggodaku, saat kerja di kantor atau di luar kantor tetap saja suka iseng. Kami memang sering menghabiskan waktu berdua, saat kerja kami bisa jadi tim yang solid, diluar jam kerja dan saat weekend kami bisa jadi traveller yang sangat menikmati hidup.
Dia seorang pekerja keras dan sangat bertanggung jawab. Kecerdasannya membuatku kagum. Menyelesaikan banyak hal dalam waktu bersamaan sudah biasa dia lakukan dan hasilnya selalu memuaskan. Dia seorang sahabat, kakak, mentor, rekan kerja dan kekasih?! terlalu dini untuk menyebutnya sebagai seorang kekasih. "Kamajaya pasti singgah, biarkan saja semua mengalir sempurna" dia katakan itu ketika seorang teman menanyakan status hubungan kami. Aku tidak pernah ambil pusing tentang status hubungan kami berdua karna yang terpenting dari sebuah hubungan adalah rasa nyaman. Kami berdua bisa menghabiskan waktu seharian untuk ngobrol, berdiskusi atau sekedar menikmati koleksi toko buku di mall. Seminggu sekali hampir pasti kami selalu menyempatkan waktu untuk nonton atau sekedar karaoke berdua.
"Aku ingin hubungan yang serius, aku ingin komitmen masa depan sama kamu". Aku terdiam sejenak mendengar pernyataannya. "Harus aku jawab sekarang?Atau kamu berbaik hati memberiku waktu untuk berpikir?". Ada yang bergejolak dalam hatiku ketika mendengar pernyataannya. Meminta waktu sebenarnya hanya sebuah alasan untuk meyakinkan diriku sendiri. Sejak hubungan ini dimulai, hanya rasa nyaman yang aku rasakan, selebihnya aku tak pernah memikirkannya.
Seminggu berlalu sejak aku meminta waktu untuk berpikir sejenak tentang akhir dari rasa nyaman kebersamaan kami atau mungkin awal dari masa depan kami berdua. "Bukankah diawal pertemuan kalian berdua, kamu bilang dia membuat hatimu kembali bergetar ketika dekat dengan seorang pria, kenapa sekarang kamu takut melangkah?", diujung telfon sahabat terbaikku mencoba meyakinkan aku bahwa tak ada salahnya mencoba hubungan baru. Orang-orang terdekatku sangat mendukung hubungan kami berdua.
Dia mengajakku makan malam, aku tau dia pasti meminta jawaban dan kepastian hubungan kami.
"Bhatara Kamajaya telah singgah dalam hatiku, dan aku ingin menjadikanmu Bathari Kamaratihku".
Aku tersenyum mendengar pernyataannya. Semua mengingatkanku pada matakuliah Indonesia Kuno yang pernah aku pelajari sewaktu kuliah dulu. Dalam karya sastra lama Smaradahana karya Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan Kediri, Batara Kamajaya adalah Dewa Cinta. Salah satu diantara banyak dewa dalam agama Hindu maupun dalam cerita wayang purwa. Ia terkenal tampan, berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan sangat sayang kepada istrinya yang bernama Dewi Kamaratih. Dewi Kamaratih tidak kalah terkenal karena cantiknya dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan suami istri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.
Malam itu, aku putuskan untuk menjadikannya Bhatara Kamajaya dalam hidupku. Mencoba merajut kisah kasih seindah kisah sang bhatara dengannya. "Saat ini, aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku utuh, tapi dengan berjalannya waktu, aku berharap kamu bisa menjadi Bhatari Kamaratihku seutuhnya". Dia mengerti benar hatiku belum bisa utuh mencintainya, tapi ketulusan hatinya membuatku sangat menghargai semua usaha yang telah dia lakukan untuk dapat membahagiakanku.
Sejak malam itu, aku belajar mencintainya. Dia mulai mengenalkanku pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Keluarganya sangat baik dan mencintaiku. Mereka menerimaku dengan penuh cinta. Dia juga mencintai keluargaku, perhatian tulusnya menyentuh hati keluargaku. Bersamanya membuatku menyadari betapa Tuhan maha baik, mempertemukanku dengan dia yang mencintaiku dengan tulus dan membuat hatiku kembali bergetar dan siap menerima cinta lagi...
Untukmu Bhatara Kamajaya...
Untuk Semua Cinta Tulusmu...
Malang, 21 Agustus 2013
Komentar
Posting Komentar