Mataku masih sembab, terlalu banyak airmata yang aku keluarkan semalam. Hari yang berat dalam hidupku. Rasanya malas sekali aku bangun pagi ini, tapi aku harus berangkat, waktuku hanya tersisa satu jam saja. Sebulan terakhir hidupku memang jadi tak teratur, kacau dan jauh dari kata damai. Tak pernah aku sangka dia tega menyakiti hatiku begitu dalam. Luka perselingkuhan yang dia torehkan belum kering, masih basah sudah dia tambah dengan luka baru yang menyakitkan.
Empat bulan yang lalu, di bulan Desember tepat dihari ulang tahunnya dia memberiku kejutan yang sangat hebat. Pengakuan dari bibirnya sendiri. Dia mengaku telah berselingkuh dengan wanita dalam foto itu. Foto yang sempat aku temukan di dalam dompetnya. Dengan lantang dia katakan tak lagi mencintaiku, dia telah memiliki wanita lain. Sempat aku bicara dengan wanita itu ditelfon. Dia benar-benar wanita yang tak punya hati, tanpa rasa bersalah sedikitpun dia mengakui bahwa selama ini dia telah jadi wanita selingkuhan kekasihku. Lelaki yang sudah empat tahun menjalin cinta denganku, lelaki yang pernah melamarku dengan manis di depan orangtuaku. Laki-laki yang menyematkan cincin indah itu dijari lentikku. Wanita itu mengaku telah tinggal satu atap dengan kekasihku selama lima bulan terakhir.
Pengakuan dari dia dan wanita simpanannya itu telah membuat hidupku hancur. "Selesaikan masalahmu, kembalikan semua yang pernah laki-laki laknat itu dan keluarganya berikan padamu ketika melamarmu dulu" itulah kalimat yang Ayahku katakan ketika mendengar semua penghianatan yang dilakukan oleh kekasihku. Seharusnya sudah tak pantas lagi dia disebut sebagai kekasih.
22 Januari , masih kuingat dengan jelas hari itu hari Jum'at. Kubulatkan tekadku untuk mengembalikan semuanya, memutuskan ikatan pertunangan indah itu. Ditemani sahabat-sahabatku, kuberanikan diri untuk datang kerumahnya. Sahabat-sahabatku hanya menunggu di dalam mobil sedang aku dengan hati sesak dan langkah yang berat memasuki rumah itu sendiri, menemui orang tuanya. Aku lepas cincin pertunangan kami. Aku berikan cincin itu ke orang tuanya. Aku tak tahan lagi. Kucoba untuk kuat dan tegar tapi nyatanya aku menangis juga. Ibunya memelukku, beliau meminta maaf atas kelakuan tak pantas yang telah dilakukan oleh anaknya. Beliau menangis, sambil membelai rambutku beliau berkata "sabar ya nduk... ibu minta maaf". Aku hanya menangis tersedu. Jauh di dalam hatiku, aku menyayangi wanita tua itu. Aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri, aku begitu menghormatinya.
Kulangkahkan kakiku menuju mobil dengan status baru,aku wanita single sekarang. Bukan lagi kekasih atau tunangan laki-laki yang tak punya hati itu. Di dalam mobil sahabat-sahabatku menungguku dengan tak sabar, mereka pasti ingin tau apa yang terjadi antara aku dan orang tuanya. Aku masuk ke dalam mobil dan menangis tersedu, aku ceritakan semuanya. Mereka menenangkanku dengan kata-kata dan pelukan.
Liburan ke luar kota menjadi pilihan terbaik. Ditemani sahabat-sahabatku, aku berlibur ke Bali. Tak bisa sepenuhnya kunikmati liburan itu. Hatiku masih berduka. Pantai Kuta, Nusa Dua, Dream Land yang terkenal sangat indah terlihat biasa saja. Pantainya jadi tidak indah, suara debur ombak seolah menghantam hatiku hingga semakin hancur berkeping-keping. Semua terlihat buruk.
Disela liburanku, aku sempat bertemu dengannya. Berharap bisa menyelesaikan semua yang terjadi. Tapi semua mengecewakan. Makan malam yang sedianya akan aku manfaatkan untuk membahas masalah kami dan menegaskan berakhirnya hubungan pertunangan diantara kami hanya berakhir menjadi makan malam biasa. Aku tak lagi bisa berkata-kata. Dia sama sekali tidak menunjukkan perasaan bersalah sedikitpun ketika bertemu denganku. Dia tetap memanggilku dengan panggilan sayang. Sejujurnya aku tak tahan. Aku muak!!! Meski masih ada cinta di dalam hatiku untuknya, tetapi tak bisa aku pungkiri, rasa benci dan kecewa begitu dalam kurasakan.
Setelah semua yang terjadi, aku mencoba menghilang dari hidupnya. Aku tutup semua akses yang bisa membuat kami kembali menjalin hubungan. Aku mulai mengisi hari-hariku dengan mengajar di sebuah SMP. Rasanya seperti memulai hidup baru dengan rasa tersiksa. Tidak mudah memang merubah semua kebiasaan yang sudah berlangsung selama empat tahun. Hubungan kami sangat indah. Banyak kenangan manis yang kami ukir bersama. Banyak rencana indah yang telah kami susun berdua. Kami ingin menikah muda. Tinggal sedikit lagi, hanya menunggu sampai aku menyelesaikan studiku. Kami mulai mengumpulkan perabot rumah tangga untuk kami nanti. Kasur, lemari, meja, TV, perabot dapur, semuanya sudah kami miliki.
Aku masih sering menangis ketika mengingatnya dan semua kenangan kami. Aku masih sering merindukannya. Masih ada rasa cinta dalam hatiku untukknya. Bukan perkara mudah bagiku untuk melupakannya. Aku masih sering terjatuh. Tak tahan rasanya untuk tidak mendengar suaranya. Aku masih sering menelfonnya dengan privat number, hanya sekedar untuk mendengar suaranya tanpa harus berkata apa-apa.
Tak terasa setelah pertemuan terakhir kami, satu bulan lebih kulewati hariku tanpa komunikasi dengannya hingga rasanya tak tahan. Aku jadi kacau, kehilangan kendali. Aku terjatuh lagi. Tak lagi kuhiraukan larangan dari sahabat-sahabatku untuk tidak lagi berkomunikasi dengannya. Harga diriku yang begitu tinggi terkesampingkan oleh rasa rinduku. Aku menelfonnya, kembali menghubunginya. Dia menyambut baik upayaku kembali menghubunginya. Entah apa yang terjadi diantara dia dan selingkuhannya disana, yang aku tahu dia mengaku menyesal dan ingin kembali padaku. Dia ingin memperbaiki semuanya. Dia menangis, dia memohon. Tangisan dan permohonan yang belakangan aku sadari hanya omong kosong. Kebodohan yang sangat aku sesali ketika aku mempercayai semua air mata dan kata-katanya.
Kami berdua jadi sering mengobrol. Seolah kami ini masih berpacaran. Seolah diantara kami tak pernah terjadi masalah yang besar. Hingga kami kembali bertemu. 15 Maret aku pulang ke kota kelahiranku untuk bertemu dengannya. Awalnya terasa canggung. Rasanya aku ingin marah tapi tak pernah bisa. Hari itu dia memintaku kembali. Dia bilang dia menyesal. Dia janji akan meninggalkan wanita itu asal aku mau kembali. Dan aku begitu mudah memaafkannya. Aku kembali dalam pelukannya. Entah apa yang mendorongku untuk kembali mungkin ini yang dinamakan cinta buta.
Semua berjalan lancar. Hubungan kami membaik. Dia mampu membuktikan padaku bahwa dia telah meninggalkan selingkuhannya. Mereka berdua tak lagi tinggal seatap. Aku belajar memaafkannya, kembali mencintainya. Sikapnya juga begitu manis, sama seperti dulu sebelum wanita itu hadir, bahkan kami mulai membicarakan lagi masalah pernikahan dan impian masa depan. Hariku kembali cerah. Kebahagiaan kembali kurasakan. Hingga badai itu datang lagi dan membuat hatiku kembali hancur.
"Dia hamil sayang, aku bingung... aku nggak tau harus berbuat apa, bantu aku sayang..." huruf-huruf luka itu terangkai menjadi kata-kata yang menyakitkan. Jantungku berdebar kencang ketika mendengarnya, tanganku gemetar seakan tak kuat lagi memegang ponselku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Air mataku tak terbendung lagi, aku menangis. "Kenapa harus jadi seperti ini sayang? kenapa???" suara isak tangisku semakin keras terdengar.
Wanita itu kembali, dia mengandung dua bulan. Aku nggak tau lagi harus berbuat apa. Aku bingung!!! Sementara dia terus saja mendesakku untuk mengambil keputusan. Aku??? kenapa harus aku yang memutuskan?
Dia bilang apapun yang aku katakan akan dia lakukan. Jika aku menghendaki bayi itu digugurkan, dia akan melakukannya karna sebenarnya dia juga belum siap, dia tidak ingin bayi itu lahir.
Masih ada waktu. Aku sudah siap, hem putih, rok hitam dan jas biru. Aku ambil tas dan memakai sepatuku. Aku siap berangkat mengajar. Make-up yang aku pakai tak mampu menyembunyikan bengkak di mataku bekas tangisan semalam. Bahkan sisa tangisan yang belum kering pagi ini. Dia menelfonku, hari ini 16 April adalah hari pernikahannya. Dia akan menikah dengan wanita yang dihamilinya itu.
"Sayang, dua jam lagi aku kan jadi suami orang. Aku akan jadi milik wanita lain. Maafin aku sayang.... aku masih mencintai kamu tapi aku tidak punya pilihan, aku harus menikahi wanita itu".
Aku terdiam cukup lama, mendengar semua kata-katanya dan isak tangis. Dia menangis... aku mendengarnya. Aku mencoba kuat. " Selamat ya... semoga kalian berdua bahagia. Kamu harus janji apapun yang terjadi, kamu harus bahagia". Hanya itu yang sempat aku katakan, aku tak tahan lagi. Aku tutup telfonnya, aku menangis. Aku tak bisa membendungnya lagi.
Inilah akhirnya... Aku memilih jalan ini, aku yang menyuruhnya untuk menikahi wanita itu. Bisa saja kusuruh dia menggugurkan janin dalam rahim wanita itu. Agar dia tetap bersamaku, tetap jadi milikku. Tapi sejak keputusan itu aku ambil, aku tak pernah mengijinkan dia untuk membuang janin tak berdosa itu. Meski inilah akhirnya, aku harus kehilangan kekasihku,merelakannya untuk menikahi wanita lain. Membuang semua mimpi-mimpi yang sudah tersusun rapi. Pernikahanku dan dia hanya menjadi angan semu yang tak akan pernah bisa terwujud.
Kutarik nafas panjang, kulangkahkan kakiku. Hari ini aku harus tetap tersenyum, murid-muridku tak boleh tau gurunya sedang bersedih. Aku harus tegar seperti karang dilautan dan melanjutkan hidupku meski tanpa dia...
"Untukmu kenangan, Malang 23 Jan '11"
Hai...
BalasHapusKisahnya sangat menyentuh mbak...